Cintaindonesia.web.id - Upacara
Tingkeban merupakan salah satu tradisi yang berasal dari masyarakat
Jawa. Upacara ini disebut juga dengan nama mitoni yang berasal dari kata
pitu yang artinya 7 (tujuh). Upacara ini dilaksanakan di usia kehamilan
7 bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini mempunyai makna
bahwa pendidikan bukan saja sesudah dewasa, namun semenjak benih
tertanam didalam rahim ibu. Di dalam upacara ini sang ibu yang sedang
hamil akan dimandikan dengan air kembang setaman serta disertai dengan
doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya
selalu diberikan rahmat dan juga berkah sehingga bayi yang akan
dilahirkan akan selamat dan sehat.
Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan supaya menjalankan 3 hal, yaitu pada setiap hari rabu dan sabtu, tepatnya pada pukul 17.00, diminta untuk mandi memakai tengkorak kelapa atau bathok sambil mengucap mantera yang telah diberikan. Setelah mandi kemudian berganti dengan pakaian yang bersih, cara berpakaiannya adalah dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi oleh Sanghyang Kamajaya dan juga Kamaratih atau Sanghyang Wisnu serta Dewi Sri, kemudian di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, lalu diikat memakai daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, kemudian diputuskan memakai sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal tersebutlah, yang nampaknya menjadi dasar masyarakat tanah Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban hingga saat ini. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb bisa hamil dan anaknya hidup. Hal tersebut merupakan lukisan jika orang yang ingin memiliki anak, maka perlu melakukan kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, sebab harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itulah jika ada orang hamil, apalagi saat hamil pertama maka dilakukan tingkeban atau mitoni.
Pada saat ini, keadaan ibu hamil sudah seperti "sapta kukila warsa", yaitu artinya adalah burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah serta kurang berdaya, tidak dapat terbang kemana-mana, sebabnya yang paling mujarab yaitu berdoa supaya bayinya bisa lahir dengan selamat. Beberapa pantangan yang patut di catat oleh ibu hamil dan suaminya, juga mengarah kepada budi pekerti Jawa luhur. Dimana, seorang ibu hamil dilarang untuk makan buah-buahan yang melintang, seperti buah kepel dimaksudkan supaya posisi bayi di perut tidak melintang.
Jika posisi melintang maka akan sangat menyulitkan kelahirannya nanti. Hal tersebut sebenarnya ada kaitannya dengan segi kesehatan, sebab buah kepel sebenarnya panas bila dimakan, sehingga jika terlalu banyak makan buah ini dapat berakibat juga pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak diperbolehkan duduk di depan pintu dan juga di lumping tempat menumbuk padi, sebetulnya memuat nilai etika Jawa. Yaitu, supaya sikap dan watak ibu hamil tidak dipandang tidak sopan, sebab posisi duduk demikian tentunya juga akan memalukan serta tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang untuk menyembelih hewan, sebetulnyanya terkandung makna budi pekerti supaya tidak menganiaya makhluk lain. Penganiayaan tersebut juga merupakan tindakan yang tidak baik.
Di samping itu, kemudian ada kata-kata "ora ilok" jika meyembelih hewan, hal ini dimaksudkan supaya bayi yang akan lahir tidak cacat. Watak dan juga perilaku yang dilarang ini adalah aspek preventif supaya suami lebih berhati-hati. Disamping itu, baik itu ibu hamil maupun suami diharapkan untuk tidak membatin mengenai orang yang cacat, supaya bayinya nanti tidak cacat. Perilaku ini merupakan upaya supaya pasangan tersebut tidak semena-mena terhadap orang lain yang cacat. Proses selamatan tradisi mitoni ini dilakukan di kebun kanan kiri rumah disuatu krobongan. Krobongan sendiri adalah bilik yang terbuat dari kepang atau anyaman bambu dan pintunya menghadap ke arah timur serta dihiasi oleh tumbuh-tumbuhan.
Krobongan merupakan lambang dunia, yakni bahwa ibu hamil dan suami saat melahirkan anak nantinya harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti di ibaratkan akan memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun untuk maksud pintu krobongan menghadap ke timur, bisa dikaitkan dengan asal kata timur atau yang dalam bahasa Jawa "wetan" (wiwitan). Artinya, timur merupakan permulaan hidup atau sangkan paraning dumadi.
Untuk informasi, bahwa kain yang akan dipakai di upacara berganti busana ini mempunyai beberapa motif yang keseluruhannya mempunyai makna baik.
Setelah selesai memakai kain dan kebaya sebanyak 7 kali, lalu dilakukan dengan pemutusan janur atau benang lawe yang di lingkarkan dibagian perut calon ibu, pemutusan ini dilakukan oleh calon ayah dengan maksud supaya bayi yang dikandung akan lahir dengan sangat mudah.
Sejarah Tradisi Upacara Tingkeban
Tradisi ini berawal saat pemerintahan Prabu Jayabaya. Ketika itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb dengan suaminya yaitu Sadiya. Keluarga tersebut sudah melahirkan anak 9 kali, tetapi tidak ada satu pun yang hidup. Karena itulah, keduanya segera menghadap kepada raja Kediri, yakni Prabu Widayaka (Jayabaya).Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan supaya menjalankan 3 hal, yaitu pada setiap hari rabu dan sabtu, tepatnya pada pukul 17.00, diminta untuk mandi memakai tengkorak kelapa atau bathok sambil mengucap mantera yang telah diberikan. Setelah mandi kemudian berganti dengan pakaian yang bersih, cara berpakaiannya adalah dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi oleh Sanghyang Kamajaya dan juga Kamaratih atau Sanghyang Wisnu serta Dewi Sri, kemudian di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, lalu diikat memakai daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, kemudian diputuskan memakai sebilah keris oleh suaminya.
Ketiga hal tersebutlah, yang nampaknya menjadi dasar masyarakat tanah Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban hingga saat ini. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb bisa hamil dan anaknya hidup. Hal tersebut merupakan lukisan jika orang yang ingin memiliki anak, maka perlu melakukan kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, sebab harus dibersihkan dengan mandi keramas. Akhirnya sejak saat itulah jika ada orang hamil, apalagi saat hamil pertama maka dilakukan tingkeban atau mitoni.
Fungsi Tradisi Upacara Tingkeban
Tradisi Tingkeban merupakan langkah permohonan di dalam bentuk selamatan. Batas 7 bulan, sebenarnya adalah simbol budi pekerti supaya hubungan suami dan istri tidak lagi dilakukan supaya anak yang akan lahir bisa berjalan dengan sangat baik. Istilah methuk atau menjemput di dalam tradisi jawa, bisa dilakukan sebelum bayi berumur 7 bulan. Hal ini menunjukkan sikap hati-hati dari orang Jawa di dalam menjalankan kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi yang sudah berumur 7 bulan harus disertai laku prihatin.Pada saat ini, keadaan ibu hamil sudah seperti "sapta kukila warsa", yaitu artinya adalah burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah serta kurang berdaya, tidak dapat terbang kemana-mana, sebabnya yang paling mujarab yaitu berdoa supaya bayinya bisa lahir dengan selamat. Beberapa pantangan yang patut di catat oleh ibu hamil dan suaminya, juga mengarah kepada budi pekerti Jawa luhur. Dimana, seorang ibu hamil dilarang untuk makan buah-buahan yang melintang, seperti buah kepel dimaksudkan supaya posisi bayi di perut tidak melintang.
Jika posisi melintang maka akan sangat menyulitkan kelahirannya nanti. Hal tersebut sebenarnya ada kaitannya dengan segi kesehatan, sebab buah kepel sebenarnya panas bila dimakan, sehingga jika terlalu banyak makan buah ini dapat berakibat juga pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak diperbolehkan duduk di depan pintu dan juga di lumping tempat menumbuk padi, sebetulnya memuat nilai etika Jawa. Yaitu, supaya sikap dan watak ibu hamil tidak dipandang tidak sopan, sebab posisi duduk demikian tentunya juga akan memalukan serta tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang untuk menyembelih hewan, sebetulnyanya terkandung makna budi pekerti supaya tidak menganiaya makhluk lain. Penganiayaan tersebut juga merupakan tindakan yang tidak baik.
Di samping itu, kemudian ada kata-kata "ora ilok" jika meyembelih hewan, hal ini dimaksudkan supaya bayi yang akan lahir tidak cacat. Watak dan juga perilaku yang dilarang ini adalah aspek preventif supaya suami lebih berhati-hati. Disamping itu, baik itu ibu hamil maupun suami diharapkan untuk tidak membatin mengenai orang yang cacat, supaya bayinya nanti tidak cacat. Perilaku ini merupakan upaya supaya pasangan tersebut tidak semena-mena terhadap orang lain yang cacat. Proses selamatan tradisi mitoni ini dilakukan di kebun kanan kiri rumah disuatu krobongan. Krobongan sendiri adalah bilik yang terbuat dari kepang atau anyaman bambu dan pintunya menghadap ke arah timur serta dihiasi oleh tumbuh-tumbuhan.
Krobongan merupakan lambang dunia, yakni bahwa ibu hamil dan suami saat melahirkan anak nantinya harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti di ibaratkan akan memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun untuk maksud pintu krobongan menghadap ke timur, bisa dikaitkan dengan asal kata timur atau yang dalam bahasa Jawa "wetan" (wiwitan). Artinya, timur merupakan permulaan hidup atau sangkan paraning dumadi.
Pelaksanaan Tradisi Upacara Tingkeban
Menurut tradisi masyarakat tanah Jawa, tradisi upacara ini umumnya akan dilaksanakan di tanggal 7, 17, dan 27 sebelum bulan purnama di penanggalan masyarakat Jawa, dilaksanakan dibagian kiri maupun dibagian kanan rumah dan menghadap ke arah matahari terbit. Yang memandikan pun jumlahnya juga harus ganjil seperti 5,7,atau 9 orang. Setelah di siram, maka dipakaikan kain atau jarik sampai 7 kali, yang terakhir atau ketujuh umumnya akan dianggap paling pantas dipakai. Diikuti dengan acara pemotongan tumpeng 7 yang di awali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar dari keseluruhan tradisi masyarakat tanah Jawa ini merupakan suatu bentuk ungkapan syukur dan juga permohonan terhadap sang pencipta untuk keselamatan dan juga kenteraman, tetapi diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang masing-masingnya memiliki makna.Tata Cara Upacara Tingkeban
Di dalam upacara tingkeban ini tentunya tidak sembarangan dilaksanakan begitu saja, adapun untuk tata cara dalam melaksanakan upacara tingkeban ini diantaranya adalah sebagai berikut :A. Upacara Siraman
Siraman ini biasanya akan dilakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang, termasuk ayah dan ibu dari wanita hamil serta suami dari calon ibu. Siraman ini memiliki makna untuk memohon doa restu supaya proses persalinan lancar serta anak yang akan dilahirkan selamat dan juga sehat jasmani maupun rohani. Sebaiknya yang memandikan pada sirama ini adalah orang tua yang telah mempunyai cucu.B. Upacara Telur Ayam dan Cengkir Gading
Setelah siraman selesai, kemudian dilanjutkan dengan upacara memasukan telur ayam dan cengkir gading. Calon ayah akan memasukan telur ayam mentah ke dalam sarung atau kain yang dipakai oleh calon ibu melalui perut hingga pecah kemudian menyusul kedua cengkir gading diteroboskan dari atas ke dalam kain yang dipakai calon ibu sambil diterima dibawah oleh calon nenek dan kelapa gading tersebut digendong oleh calon nenek dan diletakan sementara di kamar. Hal tersebut merupakan simbol harapan semoga bayi akan lahir dengan mudah tanpa adanya suatu halangan.C. Upacara Ganti Pakaian
Pada upacara ini calon Ibu akan memakai kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain ini melambangkan bahwa bayi yang akan dilahirkan adalah suci serta akan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu kemudian berganti baju 6 kali dengan diiringi pertanyaan "sudah pantas belum?", dan kemudian di jawab oleh ibu-ibu yang hadir "belum pantas" sampai pada yang terakhir atau ke 7 kali maka akan di jawab "pantas".Untuk informasi, bahwa kain yang akan dipakai di upacara berganti busana ini mempunyai beberapa motif yang keseluruhannya mempunyai makna baik.
Setelah selesai memakai kain dan kebaya sebanyak 7 kali, lalu dilakukan dengan pemutusan janur atau benang lawe yang di lingkarkan dibagian perut calon ibu, pemutusan ini dilakukan oleh calon ayah dengan maksud supaya bayi yang dikandung akan lahir dengan sangat mudah.
D. Upacara Angrem
Setelah upacara ganti busana, si calon ibu akan duduk diatas tumpukan baju dan kain yang tadi habis dipakai. Hal ini mempunyai simbol bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilan serta anak yang dikandungnya dengan hati-hati dan juga penuh kasih sayang. Calon Ayah akan menyuapi calon Ibu dengan nasi tumpeng dan juga bubur merah putih sebagai simbol kasih sayang dari seorang suami dan juga calon ayah.E. Upacara Mecah Kelapa
Kelapa gading yang tadinya sudah dibawa ke kamar, kemudian kembali digendong oleh calon nenek untuk di bawa keluar dan kemudian diletakan di dalam posisi terbalik untuk di pecah, Kelapa gadingnya berjumlah 2 dan masing-masingnya di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan Kamaratih. Calon ayah akan memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut. Jika si calon ayah memilih Kamajaya maka si bayi tersebut akan lahir pria, sedangkan bila memilih Kamaratih, maka bayi akan lahir wanita (hal ini hanyalah berupa pengharapan saja, belum tentu menjadi suatu kesungguhan).F. Dodol Rujak
Pada upacara ini, calon ibu akan membuat rujak yang didampingi oleh calon ayah, para tamu yang hadir akan membelinya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uangnya. Makna dari upacara Dodol Rujak ini adalah supaya nanti anak yang dilahirkan mendapatkan rejeki dan tentunya bisa menghidupi keluarganya kelak.Patut Kamu Baca:
- Tarian Tradisional Dari Jambi Dan Penjelasannya
- Tari Rentak Kudo, Tarian Tradisional Dari Kerinci Provinsi Jambi
- Tari Inai, Tarian Tradisional Dari Jambi
- Tari Cangget, Tarian Tradisional Dari Lampung
- Tarian Datun Julud, Tarian Tradisional Suku Dayak Di Kalimantan
- Tari Bedana, Tarian Tradisional Dari Lampung
- Tari Tenun, Tarian Tradisional Dari Bali
- Tarian Tradisional Dari Bengkulu Dan Penjelasannya
- Tari Beksan Lawung Ageng, Tarian Tradisional Keraton Yogyakarta
- Tari Topeng Ireng, Tarian Tradisional Dari Magelang Jawa Tengah
- Alat Musik Tradisional Dari Jawa Timur Beserta Penjelasannya
- Tari Andun, Tarian Tradisional Dari Bengkulu Dan Penjelasannya
- Tari Seblang, Tarian Mistis Dari Banyuwangi Jawa Timur
- Tingkeban, Tradisi Tujuh Bulanan Masyarakat Jawa